22 Desember 2011

IBU: Lambang Cinta Abadi & Pengorbanan Hakiki

0 komentar
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Pikiran ini takkan pernah sulit jika harus menggambarkan sosok seorang ibu. Setiap bentuk cinta & pengorbanan telah terpatri pada sosok mulia ini. Kita hadir di dunia ini tentunya tak terlepas dari cinta sang ibunda. Betapa bahagianya ia ketika mengetahui kita sudah menempati rahimnya, walaupun ia tahu bahwa selama sembilan bulan selanjutnya ia akan mengalami berbagai hal-hal sulit dan rasa sakit. Rasa cinta ini membuncah semakin besar kala ia mulai dapat merasakan detak jantung kita bahkan ketika kita dengan nakal menendang perutnya.

Cinta seorang ibu pada anaknya bukanlah sekedar ucapan atau cinta yang selalu dihiasi kemudahan. Cinta ibu adalah cinta hakiki yang penuh dengan pengorbanan. Berkat cinta ini, seorang ibu rela bertaruh nyawa ketika melahirkan kita. Rasa sakit tertutupi oleh kabut bahagia saat ia mengetahui kita terlahir sempurna. Siang malamnya disibukkan dengan memenuhi rengekan serta mengurusi keusilan kita. Ia rela menukarkan seluruh kebahagiaan dan hartanya demi memberikan yang terbaik pada kita. Bahkan al-quran pun mengabadikan dengan indah setiap pengorbanan ibu:

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,…(Qs. Al-Ahqaaf: 15)

Begitu banyak kesulitan yang sudah dialami ibu kita saat kita masih kecil. Sekarang saat kita beranjak dewasa, masihkah kita menyusahkannya? Sungguh tak pantas kiranya jika sebagai insan yang sudah dididik begitu tinggi namun kita masih mampu menyusahkan orang tua dengan berbagai perilaku yang tak ubahnya seperti saat kecil dulu. Adakah kita lupa bahwa cinta & pengorbanan ibu mengalir dalam darah kita melalui tiap tetes ASI nya?

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka'bah dan ke mana saja 'Si Ibu' menginginkan, orang tersebut bertanya kepadanya, "Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?" Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, "Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu" [Shahih Al Adabul Mufrad No.9]

Jika saat kecil dulu ibu dengan senang hati merawat dan mengasuh kita, maka relakah kita sekarang merawatnya dengan penuh cinta dan kelembutan? Jika saat kecil dulu ibu selalu bersabar dengan celotehan dan tingkah laku kita, maka sabarkah kita sekarang mendengarkan keinginan dan keluh kesahnya? Jika ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kita, maka sudahkah kita memberikan yang terbaik untuknya?

Renungkanlah. Apa yang sudah kita berikan pada ibu kita? Sudahkah kita membuatnya tersenyum bahagia? Atau kita masih membuatnya menangis pilu? Sekarang, mohonlah maaf pada ibu, ungkapkan cinta kita padanya, dan berikan yang terbaik.





Seperti udara kasih yang engkau berikan... Tak mampu ku membalas, IBU...

0 komentar:

Posting Komentar